Tahun ini hari raya terasa
begitu istimewa buat saya. Bukan karena ada “lamaran” yaaa (ngarep.com) tetapi
karena FULL HOUSE..! Ada kisah pilu dari saudara-saudara saya tentang anak nya,
kondisi ekonomi keluarga, orang tua, dan sebagainya.
Hidup selama 30 tahun,
baru kemarin saya kembali berpikir bahwa saya sungguh bersyukur bisa besar
dalam keluarga yang “sehat”. Saya berterimakasih pada Tuhan, bahwa saya dengan
segala permasalahan “jodoh” saya belum seberapa kompleks dibandingkan dengan
saudara-saudara saya yang datang silaturahim kemarin. Alhamdulillah…….
**
“… Masalah elo riisss, ga seluas rumah petak 3x4…”
Ya, itulah yang terlontar dari sepupu saya yang sudah
berumahtangga. Rumitnya masalah rumahtangga yang dihadapinya membuat saya
berpikir (lagi) dengan siapa partner hidup saya. Sepupu saya masih beruntung
memiliki suami yang begitu sabarnya menerima kekurangan keluarga kami yang
serba “aneh”. Membina bahtera rumahtangga selama hampir 20 tahun dengan
lingkungan keluarga yang kacau dan lingkungan sosial yang ekstrim menjadikan
sepupu saya ini seorang wanita yang struggle
menghadapi semuanya dengan iklhas dan tidak pernah dijadikan beban. Saat kalimat
“tidak pernah jadi beban” itu terucap, saya merasa sungguh luar biasa sekali
sepupu saya ini.
Di tengah himpitan
ekonomi, masalah tanah warisan yang pembagiannya menurut saya tidak jelas, dia
pun harus berperan sebagai “negosiator” dari keponakannya yang berebut asuh oleh
kakak-kakaknya.
Singkat cerita, sepupu
saya ini adalah anak terakhir di keluarganya. Tiga kakak laki-lakinya memiliki
kehidupan yang pada masa sebelumnya memiliki arah yang tidak jelas. Namun karena
ketegasannya bersikap pada kakak laki-lakinya itu, Alhamdulillah kini mereka
mulai berubah.
Ada titik terang atas hak
asuh ponakannya. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama terpisah mereka
(kakak laki-lakinya) bertemu dalam sebuah momen suci, hari raya.
Hmm… mungkin akan saya tuliskan
di lain waktu mengenai detail terpisahnya Aa saya dengan kedua anaknya.
**
Oiya, saya besar dalam
keberagaman. Silsilah keluarga maternal (pihak mamah) adalah keluarga
non-muslim yang sangat taat beribadahnya. Keluarga maternal saya ini juga
memiliki background yang
berbeda-beda. Tidak seperti keluarga paternal (pihak Bapak) yang akademisi,
keluarga maternal saya cenderung pas-pasan namun mereka memiliki daya juang
yang tinggi untuk hidup yang tidak hanya sekedar hidup.
Abah dan emak (alm.) dari
mamahnya selalu mengajarkan saya tentang kasih sayang antar sesama dan
menghargai pilihan hidup masing-masing. (Huuff…
kangen mereka… Tuhan, jaga mereka dalam surga-Mu..). Suasana demokratis dan
liberal bisa dibilang menempel pada mamahnya dalam mendidik saya, maklum saja
darah kompeni (re: Belanda) masih tersisa dalam diri keluarga maternal.
Yaa…. dan saya sekali lagi
sungguh bersyukur. Begitu baiknya Tuhan menaruh saya dalam keluarga yang “sempurna”
dengan segala kekurangan yang dimiliki oleh keluarga besar saya.
Saya pun mengambil hikmah atas
momen hari raya ini, bahwa rumahtangga tidak selalu manis saja. Akan selalu ada
badai yang menghantai bahtera rumahtangga. Suami, adalah nahkoda dan istri
adalah navigator. Komunikasi adalah bagian terpenting untuk mengarungi lautan
kehidupan yang luas dan tiada akhir, kecuali kematian yang memisahkan.
Entah siapa kelak yang
akan menjadi pendamping saya nanti, saya pun tidak tahu. Yang jelas, saat ini
saya siap untuk membuka hati. Seandainya Tuhan menakdirkan saya untuk patah
hati (lagi), jika itu adalah skenario terbaik-Nya dalam menemukan yang terbaik
bagi-Nya, maka saya akan berusaha ikhlas menjalaninya.
Dan bahagia selanjutnya
adalah tidak ada pertanyaan
“Kapan Nikahnya..?”
hahahhaaa….
*****
Alhamdulillah…..
Taqobballahu minna wa minkum…
Taqobballahu yaa kariim….
Selamat merayakan Idul
Fitri, Mohon maaf lahir batin…
Salam hari raya,
-RS-
07072016
7.36 am